JAYAPURA (PT) – Anggota Komisi I DPR Papua yang membidangi masalah pemerintahan, politik, hukum dan HAM, Laurenzus Kadepa mengharapkan aparat keamanan dalam hal ini TNI/Polri tidak bersikap arogan, refresif dan melakukan tindak kekerasan dalam pengamanan pilkada di tujuh kabupaten dan Pilgub Papua tahun 2018 ini.
Legislator Papua ini menegaskan, pengamanan pilkada tak harus dengan kekerasan, namun perlu mengedepankan pendekatan persuasif atau dialogis.
Menurutnya, pihaknya tidak ingin kejadian debat kandidat pasangan calon (Paslon) kepala daerah Kabupaten Deiyai di Nabire pada Sabtu, (5/5/2018) terulang kembali.
Ia pun membeberkan, kalau dalam video rekaman yang beredar, terlihat anggota kepolisian terkesan arogan dan juga memukul seorang warga. Dimana Mando Mote meski yang bersangkutan sudah berupaya menghindar.
“Semua pihak ingin pilkada aman. Tapi jaminannya apa? Ini baru debat kandidat saja sudah begitu, lalu bagaimana dengan tahapan yang lebih krusial. Misalnya peghitungan atau rekapitulasi perolehan suara hingga penetapan,” kata Kadepa.
Kadepa juga tidak ingin jika aparat keamanan yang terkesan menciptakan kondisi tidak kondusif dengan sistem pengamanan refresif, karena dapat memicu munculnya polemik.
“Jadi dalam situasi seperti itu, pastti ada peluang aparat keamanan untuk melakukan kekerasan, lalu kemudian menyalahkan masyarakat, ” ketus Kadepa.
Untuk itu, dengan tegas pihaknya meminta agar dalam pengamanan pilkada tidak harus dengan tindak kekerasan.
“Kan masih ada berbagai cara lain yang dapat ditempuh oleh pihak aparat, tidak mesti bersikap orogan lalu melakukan tindak kekerassa terhadap masyaralat,” ujarnya.
Menurutnya, dalam situasi apa pun kalau belum mengancam keselamatan aparat keamanan, harus tetap menghadapi masyarakat dengan persuasif.
Bahkan kata Kadepa, aparat keamanan harus memberikan contoh pengamanan dan penegakan hukum humanis kepada masyarakat.
Pada kesempatan itu, ia juga berharap agar aparat keamanan tidak terkesan bersikap benci terhadap orang asli Papua (OAP).
Diakuinya, memang sulit dalam menciptakan pengamanan humanis jika ada oknum aparat keamanan yang terlanjur benci pada kelompok masyarakat tertentu.
“Belajar dari kejadian debat kadidat Deiyai di Nabire, seorang perwira polisi di wilayah kota saja bikin begitu. Lalu bagaimana dengan bintara atau yang pangkatnya lebih di bawah dan bertugas di pedalaman,” ujarnya.
“Memang perlu saling mengkoreksi. Institusi keamanan juga harus mengkoreksi kami. Dimana kelemahan kami,” pungkasnya. (ara/dm)