JAYAPURA (PT) – Komisi VI Bidang Perindustrian, Perdagangan, Investasi, Koperasi, UKM, BUMN dan Standarisasi Nasional DPR RI mengunjungi Pemerintah Provinsi Papua untuk mendengar masukan.
Kunjungan tersebut diterima langsung Sekda Papua, TEA. Hery Dosinaen, SIP, MKP beserta sejumlah kepala daerah dan pimpinan OPD terkait di Sasana Karya Kantor Gubernur Papua, Senin (30/7/2018).
Sekda berharap, Komisi VI DPR RI bisa menindaklanjuti berbagai masukan yang sudah disampaikan demi meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Papua di masa mendatang.
Dalam pertemuan tersebut, ada sejumlah hal yang disampaikan kepada Komisi VI antara lain menyangkut masalah Pajak Air Permukaan (PAP) PT. Freeport Indonesia, masalah Perda Miras dan juga persoalan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
“Ada satu hal yang menarik bagaimana stretching Komisi VI terkait pajak air permukaan PTFI. Kita jelaskan secara detail yang sampai hari ini masih digumuli antara Pemprov Papua,” ujar Sekda Hery.
Selain itu, masalah BUMD yang menurut Hery banyak masukan untuk BUMD dari instansi terkait untuk bagaimana potensi alam dari hasil petani dapat diakomodir oleh BUMD.
Dimana penyelesaiannya untuk ketahanan pangan di daerah.
“Ini tentunya perlu ada duduk bersama melakukan pengkajian dan mengakomodir kendala yang dihadapi. Persoalan kita di Papua adalah kondisi geografis yang berat. Bagaimana hasil bumi di kabupaten yang tidak bisa diangkut ke sentra produksi. Tentunya itu juga begitu berat. Tapi ini jadi perhatian kami. Nanti kita akan support perwilayah adat, bupati harus bisa melihat kondisi ini dalam rangka ketahana pangan. Potensi di daerahnya para bupati harus bisa mengkakomodir tentunya melalui BUMD,” jelasnya.
Sementara, Ketua Tim Komisi VI DPR RI, Irmadi Lubis menuturkan, maksud kunjungannya ke Papua adalah dalam rangka untuk melihat dan mendengarkan langsung berbagai hal yang menyangkut masalah ekonomi di Papua.
“Salah satu prinsip demokrasi ekonomi adalah menjaga keseimbangan kemajuan daerah. Dalam kesatuan ekonomi nasional, kita sudah agak terlambat. Apalagi daerah timur papua untuk memproduksi barang yang sama dengan daerah yang mungkin cukup dengan seribu rupiah, di Papua itu bisa menjadi 1500 rupiah,” tutur Irmadi.
Untuk memperkecil tingkat kemahalan, salah satunya adalah masalah transportasi yang harus diperhatikan.
Sebab kata Irmadi, dari dulu masalah disintegrrasi bangsa papua maupun aceh masalahhnya adalah masalah ekonomi.
“Yang mana (pusat) terlalu ambil banyak dari daerah, dan terlalu sedikit untuk dikembalikan. Di masa akan datang jika untuk mempertahankan NKRI, maka itu harus diperhatikan,” tukasnya.
Oleh karena itu, DPR harus membuat produk undang undang yang tentunya harus berlandaskan usaha menengah dan usaha kecil.
“Jadi kalau dulu kita (DPR) hanya bersifat menyarankan, bagaimana kemitraan, tapi sekarang sifatnya memaksa membantu pemerintah,” terangnya.
Di kesempatan itu, Irmadi juga menegaskan bahwa pihaknya akan siap membantu pemerintah Papua dalam penyelesaian masalah pajak air permukaan PTFI.
“Jadi apa yang disampaikan pemerintah Papua, kami bersedia untuk membantu karena ini menjadi tupoksi kami di bidang BUMN,” akunya.
Sama halnya soal perda miras yang mana belum bisa dilaksanakan karena berbenturan dengan peraturan yang dikeluarkan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Memperindag)
“Peredaran miras yang sudah membahayakan jiwa warga papua. Ada pergub tapi gak bisa dilaksanakan karena ada juga peraturan Menperindag. Itu tidak boleh terjadi, sebab perda itu jauh lebih tinggi daripada peraturan Memperindag,” pungkasnya. (ing/dm)