SARMI (PT) – Kondisi pengelolaan hasil hutan kayu masyarakat hukum adat di Papua khususnya masyarakat adat di Kampung Gwin Jaya SP4, Distrik Bonggo, Kabupaten Sarmi hingga saat masih tarik menarik, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Papua dalam pengelolaan hutan.
Tarik menarik itu, terlihat dalam implementasi peraturan perundang-undangan terkait hutan dan masyarakat adat. Lantaran hal itu, belum sinkron antara peraturan sektoral Kehutanan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan UU Otonomi Khusus Papua dan peraturan pelaksanaannya dengan kehadiran peraturan pemerintah daerah, sehingga terjadi tumpang tindih peraturan itu.
Untuk itu, maka Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Bidang Rencana Pengelolaan Hutan (RPH) menggelar diskusi pengelolaan hutan berbasis adat tahun 2018 atau Focus Group Discussion (FGD) dengan menghadirkan Ketua Komisi II DPR Papua, Herlin Beatrix Monin, SE dan sejumlah masyarakat adat yang nota bene pemilik hutan kayu di kampung itu.
Kabid RPH Dinas Kehutanan Papua, Estiko mengatakan, FGD ini Focus salah satu upaya pihaknya selama ini, terkait hambatan-hambatan tarik menarik regulasi dengan pemerintah pusat, sehingga pihaknya berupaya mencarikan solusi agar kegiatan masyarakat adat ini bisa dilakukan kembali.
“Karena sudah cukup lama sejak terbitnya Pergub Nomor 13 Tahun 2010 dan ini sudah diterbitkan selama 8 tahun dan Norma Standar Prosedur Kreteria (NSPK) sudah kita perjuangkan, tapi ternyata masih ada kendala di tingkat pemerintah pusat. Dan saat ini tentunya tidak menguntungkan bagi siapa pun, baik masyarakat adat, pemerintah pusat dan daerah,” kata Estiko.
Menurutnya, dari ketidakjelasan pengelolaan hutan ini dapat memperparah kondisi hutan dan masyarakat adat. Sebab, tak menutup kemungkinan pembalak liar dapat saja memanfaafkan klaim kayu dari hutan masyarakat adat untuk menutupi aksi ilegalnya.
“Sebelumnya kita sudah undang beberapa pihak dari perguruan tinggi serta lembaga lainnya. Kita cari solusinya, apakah secara tehknis karena masyarakat adat ini kan sudah dilatih dan diberikan pembinaan dan pelatihan hingga mereka bisa mengoperasikan mesin pemotongan kayu,“ katanya.
Ia menambahkan, jika saat ini pihaknya bersama Komisi II DPR Papua dan komponen lain memperjuangkan untuk loloskan NSPK yang ditunggu-tunggu selama ini,“ imbuhnya.
Ketua Komisi II DPR Papua,Herlin Beatrix Monim, SE mengatakan, DPR Papua dan juga dinas terkait serta LSM akan terus berjuang dan meminta NSPK itu segera dikeluarkan agar masyarakat adat, secara khusus masyarakat yang punya hak memiliki akses legal untuk bisa mengelolah hutan di Tanah Papua.
“Tapi sampai sekarang belum dijawab, maka melalui Pergub itu, sehingga dikeluarkan Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan (IUPHH) ini, untuk memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk bisa mengelolah sekitar 20 meter kubik. Kita berharap, hal ini bisa menjadi dasar dan NSPK harus segera diterbitkan,” harapnya.
Hanya saja, kata Beatrix Monim, sapaan akrab Politisi Partai NasDem ini, sampai sekarang NSPK itu belum dikeluarkan, sehingga pihaknya bersama masyarakat akan memperjuahgkan NSPK itu.
“Saya percaya dengan semua itu, meskipun masyarakat sudah menunggu sangat lama, karena setiap kali mengurus ijin harus ada NSPK dulu. Jadi, ini salah satu kendalanya karena NSPK sampai sekarang belum disetujui oleh Kemenhut,” ujarnya.
Terkait dengan kendala yang dihadapi oleh masyarakat adat ini, pihaknya juga sedang mencari tahu, alasannya kenapa sampai sekarang NSPK itu belum diterbitkan.
Oleh karena itu, pihaknya meminta Kemenhut bisa segera menerbitkan NSPK agar masyarakat adat itu diberikan akses legal ini untuk mengelola hutan.
“DPR Papua akan terus mendorong ini dan kami pun telah memfasilitasi pertemuan antara eksekutif, legislatif, LSM dan masyarakat adat, agar Ibu Menteri Kehutanan menyetujui NSPK itu,“ imbuhnya.(ara/rm)