JAYAPURA (PT) – Komda Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) Papua menggelar seminar dan short course (kursus singkat) terkait perencanaan bangunan tahan gempa sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) di Jayapura, akhir pekan kemarin.
Wakil ketua HAKI Pusat, Stefie Tumilar mengatakan, jika Papua mempunyai potensi gempa yang sangat tinggi.
Apalagi, dibagian utara Papua, pergerakan cukup besar dan ini salah satu pergerakan gempa yang tertinggi di dunia, sehingga dengan keadaan demikian, maka Indonesia tidak terlepas dari hal demikian itu.
“Kita lihat gempa Aceh, Padang, Palu dan Lombok. Semuanya menimbulkan bekas bekas (reruntuhan bangunan). Oleh karena itu, kita mencoba mensosialisasikan berbagai macam temuan yang kita lihat. Sebab biasanya, gempa sudah terjadi baru pada ngomong, padahal itu sudah telat,” katanya.
Stefie Tumilar mengatakan, dari berbagai gempa yang terjadi itu, pihaknya menarik satu kesimpulan bahwa bangunan yang sesuai aturan menggunakn kode SNI lebih survive. Sedangkan bangunan yang tidak menggunakan kode justru cepat ambruk.
Untuk itu, Stefie berharap Papua mulai sekarang harus mulai sadar dan melakukan tindakan preventif sebelum gempa terjadi.
“Mulai dari perencanaan pembangunan, semuanya harus sesuai kode (SNI). Memang pertama berat, namun pelan tapi pasti akan bisa,” katanya.
Dari segi budjet atau anggaran untuk bangunan tahan gempa, menurut Stefie, memang tidak seperti bangunan biasa pada umumnya.
“Tentunya untuk kualitas bagus membutuhkan biaya tinggi. Tetapi harus diingat public safety. Jangan karena alasan anggaran kita kesampingkan hal ini,” ungkap Stefi yang juga merupakan anggota dari Tim penyusun aturan SNI untuk beton dan gempa.
Ketua Komda HAKI Papua, Yan Ukago menambahkan, kegiatan seminar ini bertujuan untuk memberikan pembekalan ilmu bagi para ahli kontruksi (tergabung dalam HAKI) di Papua terkait perencanaan bangunan tahan gempa.
“Kita lihat di Nabire tahun 2004. Kota lama Nabire yang dibangun Belanda dan kota baru yang dibangun pemerintah. Nah, justru bangunan di kota baru yang hancur parah. Jadi kerusakan bangunan terjadi, itu karena struktur bangunannya yang tidak kuat menahan gempa,” katan Yan.
Untuk itu, imbuh Yan Ukago, para ahli kontruksi diharapkan dapat mendesain bangunan yang tahan gempa. Sebab, gempa tidak bisa dicegah karena merupakan fenomena alam.
“Makanya bangunan yang dibangun harus berkualitas, sehingga terjadi gempa dapat meminimalisir jatuhnya korban,” imbuhnya.
Ditempat yang sama, Staf Khusus Dinas Perumahan Papua, Adelison Sinaga mengaku, sebagai seorang arsitek yang membangun sejumlah fasilitas pemerintahan di Papua hampir seluruhnya menggunakan konsep bangunan tahan gempa.
“Jadi sampai sekarang sejak tahun 1992 saya di Papua, semua bangunan yang saya tangani berstruktur tahan gempa sampai sekarang. Termasuk gedung serbaguna di balai penerbangan yang akan dipakai sebagai venue PON 2020,” imbuhnya. (lam/rm)