JAYAPURA (PT) – Pengadilan Negeri Klas 1A Jayapura menyita tiga mesin cetak milik salah satu Badam Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi Papua yakni PT Percetakan Rakyat Papua (PRP), Selasa, (21/5).
Eksekusi penyitaan tiga mesin milik PRP itu, berdasarkan putusan hubungan industrial Nomor : 10/Pdt.Sus/PHI/2017/PNJAP tanggal 21 Februari 2018.
Penyitaan ini dilakukan untuk membayar hak-hak para pekerja mantan karyawan PRP yang belum terbayar sebesar Rp 1 miliar lebih.
Juru sita dari Pengadilan Negeri Jayapura, Frederik Padalingan mengatakan, pengadilan telah memenangkan pihak penggugat yang menuntut haknya selama bekerja di perusahaan daerah milik Pemerintah Provinsi Papua itu, dikarenakan telah dipecat secara sepihak oleh pihak perusahaan tanpa dibayarkan haknya.
“Kami lakukan sita eksekusi terhadap aset milik PRP disaksikan Kepala Kelurahan Gurabesi, Kota Jayapura dan pihak kepolisian,” kata Frederik.
Dalam putusan pengadilan, katanya, tergugat (PT. PRP) dihukum untuk membayar kepada masing-masing penggugat berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang pergantian hak upah yang belum dibayar selama 19 bulan, kekurangan upah, uang transportasi dan uang makan yang seluruhnya sebesar Rp 1 miliar lebih dan membebankan seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini kepada tergugat sejumlah Rp 421 ribu.
Untuk itu, pemohon eksekusi berdasarkan surat tertanggal 2 April 2019 telah menyampaikan objek milik termohon eksekusi antara lain berupa, 1 unit alat cetak Heidelberg SM 102-2P, 1 unit mesin cetak Heidelberg SM 102-P, dan 1 unit mesin cetak Heidelberg SM 52-4P.
“Ekseskusi yang dilakukan ini untuk membayaran hak-hak karyawan yang dipecat pihak perusahaa dan pelaksanaannya dengan cara melelang barang milik termohon eksekusi,” ujarnya.
Meskipun telah menyita aset milik PRP, lanjutnya, masih ada proses yang akan dilalui, yang mana apabila tergugat tidak menyanggupi pembayaran upah para karyawan yang dipecat, maka akan berlanjut pada tahap eksekusi.
“Untuk proses ini, kami belum bisa pastikan kapan akan dilakukan, karena semua ada proses yang akan dilalui,” katanya.
Ia menambahkan, kesepuluh mantan karyawan yang saat ini menuntut pembayaran hak-haknya yakni, Nelce Mayasari Wanma, Elisa D. Regoy, Putri Anitasentri, Ahmad Ariyanto, Haris Adrdiansyah, Sugianto, Luis Loiker Worembai, Samson Pahabol, Yohana Diana Dimara dan Abdul Salam.
Sementara itu, Plt Direktur PT. Percetakan Rakyat Papua, Yustinus Saraun mengatakan kondisi perusahaan milik pemerintah Papua memang saat ini sedang mengalami pailit, karena ulah manajemen sebelumnya, sehingga menyebabkan seluruh pegawai berontak dikarenakan hak-hak mereka belum dibayar.
Melihat kondisi itu, pihak PT. Irian Bhakti Mandiri (IBM) sebagai induk perusahaan BUMD Provinsi Papua ingin memperbaiki, yang mana diupayakan membayar gaji para karyawan mulai dari April sampai dengan September 2016.
Tapi, dikarenakan tidak adanya order cetak, maka perusahaan ini tidak bisa berjalan baik, tapi karyawan tidak bisa serta merta dipecat karena harus ada SK resmi.
“Saya saat ini hanya sebagai pelaksana tugas sehingga tidak punya kekuatan hukum untuk memberhentikan pekerja, sehingga semua berjalan seperti saat ini,” kata Saraun.
Dengan demikian, dirinya bersama PT. IBM akan duduk bersama untuk membicarakan pembayaran hak-hak karyawan mengingat sudah ada keputusan tetap dari Pengadilan Negeri.
“Kami sedang upayakan ini, mudah-mudahan lewat gubernur masalah ini bisa segera diselesaikan. Bahkan surat sudah kami ajukan ke gubernur,” ujarnya.
“Intinya kami ingin selamatkan aset, karena aset-aset PRP adalah milik pemerintah daerah bukan punya percetakan,” sambungnya.
Ditambahkan, soal pembayaran hak karyawan ini bukan hanya untuk 10 karyawan yang saat ini telah memenangkan perkara di pengadilan, karena masih ada sekitar 20 lebih yang juga belum menerima haknya.
“Ini yang kami sedang berusaha selesaikan, dengan harapan PT. PRP bisa kembali aktif dan bekerjasama dengan PT. Peruri,” imbuhnya. (lam/rm)