JAYAPURA (PT) – Majelis Rakyat Papua menyatakan keprihatinan mendalam atas perlakuan rasisme terhadap 43 mahasiswa Papua di Asrama Kamasan, Kota Surabaya pada 16 Agustus 2019 lalu, yang mengakibatkan kerusuhan beberapa daerah di Papua dan Papua Barat.
MRP menilai, perlakuan rasisme tersebut telah mengalami peningkatan selama lima tahun belakangan ini.
Kenyataan itu menunjukkan orang asli Papua sedang menghadapi diskriminasi rasial, kekerasan dan terancam masa depannya.
Pernyataan MRP ini disertai fakta dimana ada 8 warga sipil dan seorang anggota TNI yang meninggal, 32 warga dan termasuk aparat keamanan terluka saat peristiwa unjuk rasa yang berujung ricuh di Waghete Ibukota Kabupaten Deiyai, pada 28 Agustus lalu.
Selain itu, aksi unjuk rasa tolak rasisme di Kota Jayapura, pada Kamis (29/8) lalu.
Aksi ini berujung anarkis, dimana massa membakar beberapa perkantoran pemerintahan dan swasta, puluhan pertokoan serta sejumlah mobil dan motor milik warga.
Bahkan, aksi unjuk rasa di Kota Jayapura ini menimbulkan rentetan baru, dimana pada Jumat (30/8) lalu terjadi penganiayaan terhadap 9 orang Papua oleh sekelompok massa yang menyebut diri sebagai ‘Paguyuban Nusantara’ di Entrop, Distrik Jayapura Selatan.
Kelompok ini adalah korban dari perlakuan massa aksi tolak rasisme yang melakukan pengerusakan serta pembakaran puluhan pertokoan dan unit usaha miliknya.
Terakhir, pada Minggu (1/9) lalu, seorang mahasiswa Uncen yakni Mikael Kareth (21) menjadi korban dalam kerusuhan yang terjadi di Kam Key Distrik Abepura sekitar pukul 05.00 WIT.
Mikael Karet tewas terkena peluru tajam oleh oknum aparat keamanan saat mencoba meredam kekacauan.
“MRP menyatakan perlakuan rasisme dan pelanggaran HAM yang dialami 43 mahasiswa Papua di Surabaya, dan berbagai kekerasan pasca peristiwa tersebut adalah bagian dari trend yang kami amati dalam lima tahun ini. Ini keprihatinan kita bersama,” kata Ketua MRP Timotius Murib kepada sejumlah wartawan, Selasa (10/9) siang.
Menyikapi berbagai isu serta polemik yang berlangsung di tengah masyarakat saat ini, MRP mengeluarkan 4 poin, antara lain, pertama mengeluarkan maklumat MRP Nomor 05/MRP/2019 sebagai upaya penyelesaian rasisme dan pelanggaran HAM terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.
Kemudian menyesalkan beredarnya sebuah maklumat No 06/MRP/2019 berisi seruan kepada mahasiswa Papua untuk tetap melanjutkan studi.
“Maklumat ini dikeluarkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab, yang mengatasnamakan MRP, tertanggal 9 September 2019. Kami akan laporkan ke Polda Papua,” kata Timotius Murib.
Yang ketiga, mengutuk dengan tegas berbagai bentuk rasisme, persekusi, dan pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua.
Keempat merekomendasikan pihak berwenang untuk terlibat dalam dialog dengan rakyat Papua dan Papua Barat mengenai aspirasi masyarakat, pemulihan kembali jaringan internet karena bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan demokrasi, serta menahan diri dari potensi pelanggaran HAM seperti penggunaan berlebihan oleh negara.
“Para pembela hak asasi manusia, para mahasiswa, serta para jurnalis telah menghadapi intimidasi dan ancaman. Mereka itu harus dilindungi,” ujar Timotius Murib. (mt/rm)