JAYAPURA (PT) – Sekitar 700 mahasiswa asal Papua di Sulawesi Utara dan Pulau Jawa memilih pulang kampung meninggalkan kampus mereka, pasca persekusi dan rasisme yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Kota Surabaya pada 16 Agustus 2019.
Ratusan mahasiswa asal Papua dari berbagai kota studi di luar Papua ini terancam tak bisa melanjutkan studinya di Papua.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Rektor Universitas Cenderawasih, Dr. Apolo Safanpo dan Pembantu Rektor (Purek) III Universitas Sans dan Teknologi Jayapura (USTJ) Ishak Rumbrarar kepada sejumlah awak media usai beraudiensi dengan Kapolda Papua Irjen Rudolf Alberth Rodja di Kota Jayapura, Senin, (9/9).
Menurut Rektor Uncen, ada empat alasan mahasiswa yang pulang sulit untuk melanjutkan studinya di beberapa kampus yang ada di Papua.
Pertama, kata Rektor Apolo Safanpo, daya tampung perguruan tinggi negeri maupun swasta di Papua sangat terbatas.
Di Uncen misalnya, pada 2019 tercatat 12.800 calon mahasiswa yang mengikuti seleksi, namun hanya 6.000 orang yang diterima.
Faktanya, lanjut Apolo Safanpo, daya tampung kampus kebanggaan masyarakat Papua ini hanya mencapai 4.000 orang.
“Daya tampung Uncen hanya 4.000, sedangkan mahasiswa mencapai 6.000. Kami terpaksa menambah kelas dengan jumlah dosen yang terbatas,” kata Rektor Apolo Safanpo.
Kedua, belum tentu fakultas atau program jurusan dari kampus asal mereka tersedia di kampus-kampus yang ada di Papua.
Bahkan, untuk pindah program studi antar kampus, para mahasiswa harus memenuhi persyaratan teknis.
“Misalnya, akreditasi progam studi minimal sama atau lebih tinggi dari akreditasi program studi yang akan dituju,” lanjutnya.
Ketiga, lanjut Rektor, tahun angkatan mahasiswa harus sesuai agar mendapat ijin akses dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).
“Ini dimaksud agar data mahasiswa bisa masuk dalam Pangkalan Data Peguruan Tinggi (PDDIKTI),” jelas Apolo.
Alasan keempat, kata Apolo, mahasiswa yang kuliah di perguruan swasta tak bisa masuk ke perguruan tinggi negeri.
Sebab, proses masuknya mahasiswa ke perguruan tinggi negeri harus melalui seleksi nasional.
Oleh karena itu, Apolo meminta pemulangan mahasiswa Papua ke wilayah studi masing-masing perlu dipertimbangkan kembali, baik karena alasan keamanan maupun alasan lainnya.
“Universitas yang ada di Papua harus mempertimbangkan kembali, begitu juga dengan Pemerintah Daerah, DPR Papua, MRP harus duduk bersama untuk mencari solusi terkait kepulangan mahasiswa dari kota studi di luar Papua,” pintanya.
Apolo khawatir jika mahasiswa yang terlanjur pulang dan tidak bisa melanjutkan studi di universitas di Papua, akan menjadi beban bagi pemerintah daerah dan perguruan tinggi yang ada.
“Kami telah memberikan saran kepada Kapolda Papua memfasilitasi diskusi dengan Gubernur Papua untuk mengundang Forkopimda dan para bupati, agar sama-sama berdiskusi mencari solusi terbaik mengatasi masalah pemulangan mahasiswa Papua,” ujarnya.
Pembantu Rektor III Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) Papua, Ishak Rumbrarar menegaskan, pihaknya akan berpegang teguh pada peraturan Kemenristekdikti.
Misalnya, mahasiswa yang pindah dari kampus lain harus memenuhi persyaratan sebagaimana tertulis dalam peraturan menteri yang mengatur mekanisme pidah kampus (transfer-red).
“Ini sudah memasuki tahun ajaran baru dan belajar mengajar di kampus telah berjalan. Tidak mungkin kami menerima mahasiswa seperti itu, belum lagi syarat-syarat rekam jejak pendidikannya di kampus asal,” tegasnya.
Menanggapi alasan jaminan keamanan, Kapolda Papua, Irjen Pol. Rudolf Albert Rodja mengakui pihaknya telah berkoordinasi dengan Polda-Polda lain dalam menyikapi kepulangan mahasiswa Papua.
“Kami telah berkoordinasi dengan Polda lain di seluruh Indonesia sebagaimana instruksi bapak Kapolri. Polda di masing-masing daerah telah mengirimkan tim untuk menjelaskan kepada mahasiswa Papua di wilayahnya bahwa keamanan mereka akan dijamin,” imbuhnya. (mt/rm)