JAYAPURA (PT) – Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Provinsi Papua menghadapi tantangan yang berbeda dari provinsi lain di Indonesia.
Sebab, pembentukan KPH didasari pada hak kepemilikan tanah adat dan nilai-nilai tradisional yang menjadi identitas masyarakat Papua.
Hal ini diungkapkan Gubernur Papua, Lukas Enembe dalam sambutannya yang dibacakan Staf Ahli Gubernur Bidang SDM dan Kesejahteraan Rakyat, Annie Rumbiak pada pertemuan awal dimulainya proyek persiapan untuk pembangunan yurisdiksi rendah karbon di Papua antara Pemprov Papua melalui Komisi Daerah Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan Provinsi Papua (KOMDA-PIPB) dan WWF Indonesia di Jayapura, Selasa (12/3).
Dikatakan, kondisi ini didukung fakta bahwa dari hampir tiga juta orang di Papua, 84 persen bergantung pada hutan untuk mata pencaharian mereka, termasuk manfaat sosial dan budaya yang didapat dari hutan.
“Sebagian besar dari mereka dianggap miskin dan konflik sosial dapat dengan mudah terjadi jika perencanaan KPH tidak mempertimbangkan ketergantungan masyarakat Papua pada hutan,” kata Gubernur.
Menurutnya, Otonomi khusus untuk Provinsi Papua di Indonesia berdasarkan UU No 21 Tahun 2001 memberi pemerintah provinsi wewenang penuh untuk mengatur orang Papua sesuai dengan aspirasi dan hak tradisional mereka.
Untuk itu, Gubernur mendorong keterlibatan para pemangku kepentingan dari berbagai sektor di tingkat provinsi hingga ke kabupaten, distrik dan kampung untuk dapat secara
partisipatif mengimplementasikan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan.
“Diharapkan melalui dukungan penuh para pemangku kepentingan, Pemprov Papua dapat memberikan kontribusi dalam upaya tata guna lahan yang berkelanjutan dan mendukung komitmen nasional dan global mendorong penurunan emisi CO2 dan mengatasi perubahan iklim,” harapnya.
Selain itu, Gubernur Lukas Enembe berharap keberhasilan di dua KPH ini dapat direplikasikan ke KPH lainnya yang ada di Provinsi Papua.
Sementara itu, Direktur WWF Indonesia Program Papua, Benja V. Mambai mengatakan, mayoritas emisi CO2 di Indonesia berasal dari perubahan penggunaan lahan, sehingga sektor berbasis lahan telah ditetapkan sebagai prioritas untuk memenuhi target pengurangan emisi nasional.
“Di Papua, dalam kaitannyamenghadapi banyak tantangan dalam tata kelola hutan termasuk deforestasi dan degradasi hutan akibat pembalakan liar, pembangunan rendah emisi diharapkan mampu menjawab tantangan itu,” harapnya.
Selain itu, kata Benja Mambai, program ini sekaligus memberi ruang dalam mengakomodir nilai–nilai budaya orang Papua dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe dan fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial, budaya dan ekonomi serta lembaga adat, termasuk hukum adat dan batas wilayah adat.
Untuk diketahui, Governor Climate Forum (GCF) adalah sebuah forum beranggotakan para gubernur dari beberapa negara yang berkomitmen dalam mengatasi pemanasan global.
Saat ini GCF beranggotakan 38 provinsi yang berasal dari berbagai negara antara lain Indonesia, Afrika, Amerika Latin dan Amerika Serikat.(ing/rm)