JAYAPURA – Asisten Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Papua, Drs. Elia I Loupatty, MM mengatakan, potensi ancaman kerusakan ekosistem gambut sangat tinggi, dimana ancaman terbesar datang dari perusahaan-perusahaan yang mendapatkan izin eksploitasi dan izin perusahaan, baik pengusahaan hutan alam, maupun pertambangan, pertanian dan perkebunan berada diatas gambut.
“Untuk itu, restorasi gambut Papua perlu dilaksanakan atas dasar antisipasi dampak sosial, ekonomi dan lingkungan yang tidak diinginkan masyarakat,”ungkapnya saat membuka sosialisasi program restorasi di Hotel Aston, Selasa (11/7/2017).
Dikatakannya, pengamanan potensi gambut dari ancaman kebakaran hendaknya dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan masyarakat adat melalui program pemberdayaan kampung peduli gambut yang dapat menekan laju kerusakan dan mencegah emisi karbon lahan gambut.
“Rencana restorasi (pemulihan) gambut di Papua memerlukan suatu kesepahaman,”katanya.
Pasalnya, Papua dengan kondisi geografis yang unik dan budaya masyarakat yang masih bergantung pada ekosistem gambut, memerlukan pendekatan, kerjasama, dan dukungan semua pihak baik sosial, budaya, ekonomi maupun lingkungan.
“Di Papua luas gambut mencapai 2.658.18 hektar. Dengan sebaran di Kabupaten Merauke, Mappi, Asmat, Boven Digoel, Mamberamo Raya, Mimika dan Tolikara. Untuk itu, perlu satu kesepahaman untuk melakukan restorasi,”bebernya.
Menanggapi itu, dirinya berpendapat untuk perlindungan dan restorasi lahan gambut yang rusak di Papua harus dengan menanam jenis pangan endemik seperti sagu, karena tanaman ini mampu menyerap air 200-1.000 persen sehingga dapat berfungsi sebagai tanaman pelindung lahan gambut agar tidak mengering dan terbakar.
“Saya menilai dan berharap kehadiran Badan Restorasi Gambut (BRG) di Papua dapat melakukan sosialisasi potensi gambut dan memetakan masalah dan solusi melalui program pemberdayaan kampung peduli gambut,”pungkasnya. (ing/rm)