JAYAPURA (PT) – Sementara itu, bukan saja di era Gubernur Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Klemen Tinal membangun sekolah pola asrama, LUKMEN julukan Lukas-Klemen juga memiliki strategi yang dilakukan untuk memberantas buta aksara di tanah Papua. Menurut Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPPAD) Provinsi Papua, Protasius Lobya salah program prioritas Pemerintah Provinsi Papua dalam memberantas buta aksara adalah dengan melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi berbasis keagamaan.
“Untuk Perguruan Tinggi, dikembangkan program Kuliah Kerja Nyata Tematik yang dikhususkan bagi pemberantasan buta aksara pada wilayah yang memiliki angka buta aksara tinggi,” jelasnya.
Untuk penuntasan buta aksara, Pemprov Papua mengintervensi dengan menglokasikan anggaran sebesar Rp 7 miliar walaupun ini merupakan kewenangan pemerintah kabupaten dan kota. Lanjutnya, penuntasan buta aksara dapat diatasi bila pemerintah kabupaten mau memberi perhatian lebih pada jenjang pendidikan dasar.
Menurutnya, praktik konsep pengajaran untuk menghilangkan buta huruf kurang direspons oleh sebagian besar kepala daerah. “Sayang sekali literasi provinsi lain sudah mereplikasi sedangkan Papua sendiri belum replikasi,” ujarnya.
Namun dengan berjalannya program kemitraan, Lobia meyakini, angka buta huruf di Papua dapat diturunkan karena sudah ada beberapa kabupaten yang menjadi percontohan. Setidaknya ia melihat perkembangan buta huruf di Kabupaten Jayapura yang turun drastis semenjak penerapan praktik baik dengan pendampingan dari Yayasan Nusantara Sejati dan Unicef.
Kepala Kantor Yayasan Nusantara Sejati Erren Very Anna Hutahuruk menyebutkan, Kabupaten Jayapura telah menjadi contoh keberhasilan dari penerapan praktik baik untuk menurunkan angka buta huruf.
“Kabupaten Jayapura angka buta hurufnya dari sekitar 40 persen, pada 2018 sudah turun jadi sekitar 26 persen,” kata dia.
Dalam penerapannya, Yayasan Nusantara Sejati melakukan pelatihan kepada guru tingkat dasar untuk merubah pola pengajarannya sehingga lebih atraktif dan mampu diterima oleh para siswa.
Menurut dia, ketika para siswa merasa sekolah adalah tempat yang menyenangkan maka mereka memiliki semangat lebih tinggi untuk belajar. “Kita mendorong pembelajaran di kelas semenarik mungkin, kalau kelas berisik bukan berarti murid tidak belajar, justru memang sedang belajar sehingga anak-anak mau datang lagi,” kata dia.
Ada sembilan komponen pengajaran yang dilatih Yayasan Nusantara Sejati kepada para guru. Setelah guru menerapkan di saat jam pelajaran Bahasa Indonesia, ada fasilitator yang mendampingi untuk melakukan evaluasi.
“Setelahnya guru bersama fasilitator kita sama-sama membuat materi pengajaran,” kata Erren.
Dilansir dari Detik.com, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menyampaikan angka buta aksara di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 1,78 persen. Sementara itu, tingkat buta aksara di Provinsi Papua mencapai 21,9 persen.
“Dari sensus nasional, survei sosial ekonomi nasional, hasil literasi kita adalah, yang masih buta huruf itu 1,78 persen. Ada penurunan tingkat penurunan buta huruf yang ada di negeri ini,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Jumeri, saat konferensi virtual, Jumat (4/9).
Jumeri menambahkan ada 6 wilayah yang penduduknya masih memiliki kasus buta aksara tertinggi. Daerah tersebut adalah Papua, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Sulawesi Barat (Sulbar). “Kita masih punya 6 provinsi yang harus kita perjuangkan dengan sungguh-sungguh, di antaranya Papua, itu tingkat buta aksaranya masih 21,9 persen, kemudian nusa tenggara barat 7,46 persen, NTT 4,24 persen, Sulawesi selatan 4,22 persen. (Lalu) Sulawesi barat 3,98 (persen), Kalimantan Barat, 3, 81 (persen),” ujar Jumeri.
Jumeri mengatakan Kemdikbud terus berupaya agar semua masyarakat di Indonesia bisa melek huruf. Dia menambahkan masyarakat harus melek huruf agar kesejahteraan bisa meningkat.
Editor : Ronald