JAYAPURA – DPRP menyatakan tidak setuju jika masyarakat di tiga kampung yang berada di area penambangan PT Freeport Indonesia harus dievakuasi. Tiga kampung yang dimaksud ini yakni, Kampung Kimmbely, Arwanok, dan kampung Banti.
Pasalnya, mereka itu adalah masyarakat asli yang punya kampung disana dan seharusnya dibantu oleh Freeport untuk memberikan kesejahteraan, bukan malah mendukung evakuasi itu.
“Saya tidak setuju kalau masyarakat asli penghuni dari tiga Kampung itu dievakuasi, saya harap itu jangan dilakukan lagi karena mereka adalah masyarakat asli yang punya Kampung disana,” kata Sekretaris Komisi I DPRP Mathea Mamoyau dari daerah pemilihan (Dapil) Mimika kepada wartawan di ruang kerjanya, Rabu (29/11/2017).
Pihak Freeport, menurut Mathea, seharusnya mencari jalan keluar untuk membantu mensejahterakan masyarakat diatas tanahnya sendiri, bukan malah membiarkan masyarakat di tiga kampung tersebut diungsikan.
Terkait dengan kelompok yang mengatasnamakan KKB atau TPN-OPM, Mathea menegaskan, bahwa masyarakat itu sudah ada sebelum perusahaan Amerika itu ada di Kabupaten Mimika, dan mereka sudah lama berbicara tentang kemerdekaan.
“Apakah setelah mereka berbicara merdeka, lalu hari itu juga mereka merdeka? Kan tidak, meskipun misalnya mereka mengucapkan kata merdeka, itu karena ada ketidak puasan mereka terhadap pemerintah dan juga karena ada ketidakberesan yang mereka rasakan setelah kehadiran Freeport,” ujar Mathea yang juga sebagai mantan karyawan PT Freeport Indonesia.
Untuk itu, wanita asal Komoro ini menyarankan agar masyarakat diundang secara baik oleh pihak PT Freeport Indonesia, duduk dan dan bicara dari hati ke hati.
Saat disinggung soal tuntutan mahasiswa yang meminta Freeport harus ditutup, Mathea merasa tidak setuju karena Freeport punya kewajiban membangun fasilitas, membangun seluruh kebutuhan masyarakat setempat untuk mereka tinggal diatas tanah mereka sendiri.
“Mengapa sampai masyarakat itu menunutut Freeport harus ditutup. Itu karena mereka tidak merasakan kehadiran Freeport itu seutuhnya dan sebagai tuan yang bisa memberikan mereka sebuah kesejahteraan. Bahkan mereka melihat kehadiran Freeport sebagai malapetaka,” tandas Mathea Mamoyau.
Oleh karena itu, ia berharap agar oknum-oknum yang bertanggungjawab dapat melihat secara jeli masyarakat di Timika karena masyarakat yang memiliki hak ulayat dan tanah.
“Jadi tanggungjawab Freeport, bangun lapangan pekerjaan buat masyarakat yang ada disana, berikan lah mereka sebuah kesejahteraan. Bukan memberikan uang dan melepaskan tangan begitu saja kepada masyarakat tapi bagaimana merangkul mereka dan membangun mereka secara manusiawi untuk mereka bisa hidup berkepanjangan diatas tanah mereka itu sendiri,” pungkasnya. (ara/rm)